Bismillahirrohmanirrohim
Hari minggu pagi kemaren jam 02.30 pagi ada salah satu murid saya kehilangan neneknya setelah selama 3 hari berjuang di rs.natar medika karena asam lambung.
Pardi namanya, ia sangat mencintai neneknya dengan cara yang tidak biasa teman-teman seusianya, dia tidak pernah tinggalkan sholat jamaahnya di mesjid demi doa untuk kesehatan neneknya yang dia yakini bahwa doa yg diamini pada saat sholat jamaah itu kecepatan dikabulkannya lebih dibandingkan jika sholat dirumah.
Suatu ketika saat waktu sholat ashar berkumandang, meskipun belum selesai dengan tugas yang diberikan oleh saya, seketika dia berlari keluar rumah tanpa bilang apapun. Sempat terlintas suudzon di hati saya ( karena saya pikir dia main ) setelah 20 menit dia kembali dengan wajah yang sendu dan tampak habis menangis.
Saya hanya melihat sepintas dan memilih untuk tidak menanyakan penyebabnya. Setelah ia mengumpulkan tugas preview akidah akhlak yg saya berikan, timbul penasaran dengan sikap dia tadi.
"Lain kali kalo tugas belum kelar, jangan langsung keluar yo le (panggilan Nak, bahasa jawa), pardi seharusnya tahu ibuk jam 5 lewat hendak ke raudhatul jannah..entar kalo pardi gitu lagi akan ibuk kasih sanksi"
"pardi asharan dulu buk , ntar yang ngedoain mak bapak ama mbah siapa ? Udah enak banget hidup pardi ini , bisa belajar, bisa kerja di pabrik, bisa kasih simbah uang..mosok sholat barengan di mesjid saja pardi gak bisa buk ? Kok ya nemen banget urip pardi"
Kaget, sedih, bahagia perasaan yang bercampur aduk. Sekaligus tersentil dengan ucapan pardi, saya yang masih suka menunda-nunda sholat.
" kamu nggak takut ibuk kasih sanksi ?"
"nggak ah..paling mentok sama ibuk ditambahi tugas insyaAllah kelar lha kalo Allah yang kasih hukuman ke pardi? Apa nggak kelar uripe pardi trus njaluk tolong sopo buk?"
MasyaAllah, dari seorang yatim piatu yang (maaf) terlahir pincang dan mata kiri kurang bisa melihat dengan sempurna. Saya diajarkan oleh seorang anak mengenai "kesempurnaan mensyukuri nikmat tingkat tinggi".
Begitupun saat mbahnya meninggal dan dikubur, dia tidak menangis sesenggukan seperti layaknya bocah lain dan kata-kata yang menyentuh "kenapa Allah ngambil simbah padahal aku belum sempat bales semua kebaikan simbah, Buk?"
Tidak ada rasa kebingungan ataupun takut di usia 9 tahun itu tentang kelanjutan hidupnya yang sebatang kara, tidak ada sanak saudara di banjarnegri ini. Bahkan ketika saya tawarkan untuk tinggal bersama dirumah dia hanya berujar "Nanti saja habis 40 hari simbah ya Buk"
Malam pada saat tahlil pun dia yg pling khusuk membaca yasinnya. Semoga pelajaran hidup pardi juga menjadi pelajaran kita semua sahabat semua.
Dahulukan Allah , nikmati semua bentuk kasih sayang allah tanpa kecuali
Belajar dari pardi ( 9 th )
No comments