Dua Orang Baik tapi Mengapa Perkawinannya Tidak Bahagia ?
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil saya melihatnya begitu gigih menjaga keutuhan keluarga...
Ia selalu bangun sejak dini hari, memasak bubur untuk ayah karena lambung ayah kurang sehat.
Setelah itu, beliau masih harus memasak nasi untuk anak-anak yang sedang dalam masa-masa pertumbuhan...
Setiap sore, ibu selalu menyikat panci supaya tidak ada noda hitam sedikitpun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan rumah agar tidak berdebu.
Sebelum tidur, ia menyeterika baju kerja ayah dan menyemir sepatunya...
Ibu adalah seorang wanita yang sangat rajin dan giat bekerja.
Namun, di mata ayah, ibu bukan pasangan yang baik. Tidak hanya sekali saja ayah menyatakan kesepian dalam perkawinan, tapi saya tak bisa memahaminya...
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab.
Tidak pernah tersangkut dalam masalah ruwet apapun...
Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, tidak berjudi dan foya2, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja pagi2 sekali dan pulang tepat waktu dan saat libur ayah punya waktu untuk mengantar anak2nya ke sekolah.
Ia seorang ayah yang penuh dgn tanggung jawab dan mendorong anak-anaknya untuk berprestasi dalam pelajaran, membantu belajar pada musim ulangan dan menyelesaikan PR anak2 nya yang merasa kesulitan...
Ayah adalah seorang laki-laki yang baik di mata anak-anak, ia tinggi seperti langit, menjaga kami, melindungi kami serta mendidik kami disiplin maupun etika...
□■□■
Hanya saja, di mata ibu, ia bukan pasangan yang baik. Kerap kali saya melihat ibu menangis dgn terisak secara diam-diam...
Saya melihat dan mendengar ketidak-berdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu kami, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka...
Seharusnya mereka layak utk mendapat perkawinan yang baik. Saya bertanya pada diri sendiri, "Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia juga ???".
¤¤¤◇¤¤¤
Setelah dewasa, akhirnya saya memasuki perkawinan dan juga perlahan-lahan saya mengetahui jawaban itu...
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, rajin bekerja dan mengatur rumah dgn sungguh2, rasa3nya seperti 24 jam/perhari terlalu singkat untuk membereskan semuanya tsb.
Saya berusaha utk memelihara perkawinan saya sendiri...
Anehnya, saya tidak merasakan bahagia dan suamiku sepertinya juga tidak berahagia. Saya lalu merenung..., mungkin rumah kurang bersih, masakan tidak enak, pakaian2 kurang rapih, lalu dengan giat saya membersihkan rumah dan memasak lebih giat, bangun lebih pagi lagi dengan sepenuh hati...
Namun, rasanya, kami berdua tetap tidak bahagia. Hingga pd suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan rumah setelah memasak di dapur dan menyeterika baju2, suami saya berkata, "temani aku sejenak untuk istirahat..."
Dengan mimik tidak senang saya berkata, "Apa Papa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum aku pel ?!".
Ssssssttt....!!!
Masya Allah...
Begitu saja kata-kata terlontar, saya seperti baru tersadar dan termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan Ibu pada waktu itu...!
Saya seperti sedang ditunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, yang sekaligus mengulang kembali kekonyolan yang telah membuat ketidak-bahagiaan dalam perkawinan mereka tsb.
Hingga ada beberapa kenangan yang tiba-tiba saja muncul...
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang ke suami, dan teringat akan Ayah yang tak mendapatkan apa yang dia butuhkan dalam perkawinannya.
Karena waktu ibu habis untuk membersihkan rumah, padahal yang dibutuhkan ayah adalah menemaninya ngopi sambil berbincang-bincang...
Tapi, terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga itu adalah cara ibu dalam mempertahankan perkawinan (menurut versinya).
Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih namun ibu kurang menemani ayah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya sendiri..!!!
KILAS BALIK INI MENYADARKAN SAYA.
MEMBUAT SAYA SEGERA MENGAMBIL KEPUTUSAN CEPAT.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, mendengarkannya bincang2 dan dari kejauhan saya memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu dulu...
Setelah ia selesai, saya bertanya pada suami saya, "Apa yang sebenarnya kau butuhkan mas?"
"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku santai... Rumah itu kotor sedikit tidak apa-apa", ujar suami saya.
Owh...
Padahal selama ini saya mengira dia perlu rumah yang bersih, ada yang memasakan untuknya, menyeterika baju2nya dst...
"Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering-sering untuk menemaniku....", kata suamiku.
Ya Allah...
Ternyata semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut...
Itu bukan kebutuhan primernya untuk merasa saya cintai...!!!
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, karena saya lebih merasa dicintai bila dia memuji hasil pekerjaan saya se hari2, membelai saat saya kelelahan, bukan menggantikan saya mengajari anak2 belajar matematika atau mengantar anak sekolah... itu tugas ibu2...!
Ternyata kami memiliki caranya masing2 bagaimana mencintai pasangan, namun belum tentu itu cara yang paling diinginkan pasangan kita untuk merasakan cinta kita...
🥇🥇🥇
Sejak itulah, saya menderetkan sebuah daftar apa *"bahasa cinta"* suami, dan meletakkanya di atas meja rias...
Begitu juga pada suami saya, dia menderetkan sebuah daftar *"bahasa cinta"* kepada saya...
Puluhan kebutuhan yang panjang dan jelas.
Misalnya : Pada waktu senggang menemani pihak kedua untuk mendengar lantunan Al-Qur'an dengan terjemahannya, saling memeluk setiap pagi, memberi sentuhan selamat jalan apabila berangkat, ngobrol2 di teras..., nonton berdua, oleh2, dukungan & pujian bukan kritikan, dstnya dstnya....
Beberapa hal yang cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang sulit. Misalnya: "dengarkan aku, jangan memberi komentar". Ini adalah kebutuhan suam saya.
Kalau saya memberinya usul, dia bilang dirinya merasa tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi bagi seorang laki-laki.
Saya memenuhi keinginan suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya, kalau tidak saya hanya mendengarkan dengan serius dan mengangguk angguk saja...
Begitupun ia, sikapnya berubah. Dia berusaha mati2an bersikap lembut, penuh belaian dan kata2 mesra pada saya ketimbang mendidik disiplin otoriter di dalam rumah...
Bagi kami ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun jauh lebih bermakna dalam pernikahan kami...
Bertanya pada pasangan kita : *"Apa yang kau inginkan ???"*, ternyata dapat menghidupkan dan membahagiakan dalam pernikahan....
Kini, sayapun sudah tahu kenapa perkawinan ayah dan ibu saya tidak sebahagia pernikahan saya
MEREKA TERLALU BERSIKERAS MENGGUNAKAN CARA SENDIRI DALAM BERBAHASA CINTA PASANGANNYA, DAN BUKAN MENCINTAI PASANGANNYA DENGAN CARA YANG PALING DIINGINKAN PASANGANNYA !
Sungguh dua hal yang berbeda...
Kita "harus" bersikap memenuhi kebutuhan pasangan kita bukan memaksakan apa yang menurut kita dia butuhkan...
Kita mungkin sangat lelah sudah melayani pasangan kita dengan cara kita, namun dia tidak juga menghargai kita... Sehingga pada Akhirnya kita sama2 kecewa dan hancur...!!!
SETIAP ORANG PANTAS DAN LAYAK UTK MEMILIKI SEBUAH PERKAWINAN YANG BAHAGIA
Asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang amat dibutuhkan oleh pasangan kita !
Membuat selalu rindu berada di rumah karena selalu terpenuhi kebutuhan cintanya...
Semoga bisa menyadarkan bagi Pasangan RT yang belum sadar hingga kini... 🙏
Sumber telegram @kushumeraihberkah
No comments